“Yang Penting Ikhlas!
Apa pun yang Terjadi Setelah itu, Terjadilah”
Setelah Khalifah
Umar bin Khattab mengirimnya ke Basrah untuk menjadi panglima dan gubernur
Basrah, ia mengumpulkan warganya dan berpidato di depan mereka, “Sesungguhnya
Khalifah Umar mengutusku kepada kalian untuk mengajarkan Kitabullah, Sunah
Rasulullah dan membersihkan jalan kalian.”
Seluruh warga
keheranan. Mengajarkan ajaran Islam kepada seluruh warga memang tanggung jawab
seorang gubernur, tetapi sejak kapan membersihkan jalan juga menjadi tanggung
jawab seorang gubernur? Bagi mereka, ini hal baru yang mengundang keheranan,
takjub, dan tanda Tanya.
Siapakah kiranya
gubernur ini, yang mengenai dirinya, Hasan Basri pernah berkata, “Tidak seorang
pengendara pun yang datang ke Basrah, yang lebih baik bagi penduduknya selain
dia.”
Dialah Abdullah
bin Qais, yang biasa dipanggil Abu Musa al-Asy’ari. Ia tinggalkan Yaman,
kampung halamannya, dan pergi ke Mekkah, setelah mendengar munculnya seorang
Rasul di sana yang menyerukan tauhid, mengajak menyembah Allah dengan
argumentasi yang tepat, dan menyuruh berakhlak mulia.
Selama di
Mekkah, ia habiskan waktunya untuk menerima petunjuk dan keimanan dari
Rasulullah saw. Kemudian ia pulang kampung dengan membawa ajaran Allah. Ia ke
Madinah lagi seusai peristiwa Perang Khaibar, bersamaan dengan datangnya Ja’far
bin Abu Thalib dan rekan-rekannya dari Habasyah. Karena itu, Rasulullah memberi
mereka bagian dari harta pampasan perang.
Kali ini, Abu
Musa tidak datang seorang diri. Ia bersama 50 lebih laki-laki dan Yaman yang
telah masuk Islam. Juga bersama dua saudaranya yang bernama: Abu Ruhm dan Abu
Burdah.
Rasulullah
menyebut golongan inidan seluruh kaum mereka sebagai golongan Asy’ary. Beliau
juga menyebut mereka sebagai orang-orang yang memiliki hati yang lembut.
Rasulullah
menjadikan mereka sebagai contoh perumpamaan. Beliau bersabda, “Orang-orang
Asy’ari ini, jika mengalami paceklik atau kekurangan makanan dalam satu peperangan,
mereka mengumpulkan makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka
bagi rata. Mereka bagian dariku dan aku bagian dari mereka.”
Mulai saat itu,
Abu Musa berada dalam barisan terdepan kaum muslimin. Ia masuk dalam jajaran
para sahabat dan murid Rasulullah, serta menjadi penyebar Islam ke seluruh
dunia di setiap masa.
Abu Musa adalah
manusia menakjubkan karena berbagai sifat utamanya. Ia seorang prajurit gagah
berani dan pejuang tanggun bila berada di medan perang. Ia orang yang sangat
ramah, sangat baik dan lebih mengutamakan perdamaian. Ia seorang ahli fiqh,
berpikir sehat, cerdas, mudah mencari solusi, fatwa, dan keputusannya menjadi
rujukan. Hingga ada yang menyebutkan, “Hakim umat ini ada empat orang: Umar,
Ali, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.”
Di samping itu
semua, ia masih sangat polos. Orang yang ingin menipunya dengan mengatasnamakan
Allah, maka ia akan berhasil menipunya.
Ia sangat
bertanggung jawab terhadap tugasnya. Ia sangat percaya kepada orang lain.
Seandainya kita
memilih satu semboyan dari kehidupannya, maka semboyan itu akan berbunyi, “Yang
Penting ikhlas! Apa pun yang akan terjadi setelah itu, terjadilah.”
Di medan perang,
Abu Musa mengemban tugas dengan penuh keberanian hingga menyebabkan Rasulullah
saw. berkata tentang dirinya, “Pahlawan pasukan berkuda ialah Abu Musa.”
Abu Musa sendiri
pernah menggambarkan kehidupannya sebagai pejuang, “Kami pernah bersama
Rasulullah dalam satu peperangan. Saat itu, telapak kaki kami pecah-pecah.
Bahkan, kuku kakiku banyak yang terlepas hingga kami membalut telapak kaki kami
dengan sobekan kain.”
Di
medan perang, kebaikan dan kejujurannya tidak akan menyeretnya terjebak dalam
kelicikan musuh karena dalam suasana seperti ini, ia akan melihat semua
permasalahan dengan sejelas-jelasnya dan menyelesaikannya dengan tekad bulat.
Pernah
terjadi, dalam proses pembebasan wilayah Persia, Abu Musa dengan pasukannya
tiba di daerah Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian, mereka
akan membayar upeti. Akan tetapi, mereka tidak sungguh-sungguh ingin berdamai.
Mereka hanya ingin mengulur waktu untuk mempersiapkan diri lalu menyerang kaum
muslimin saat mereka lengah.
Namun,
kecerdasan Abu Musa yang selalu hadir saat dibutuhkan, mencium niat jahat itu.
Tatkala mereka bermaksud melakukan serangan secara licik, Abu Musa tidak
terkejut, bahkan sudah diap menghadapi mereka. Peperangan pun terjadi. Belum
sampai tengah hari, perang sudah berakhir dengan kemenangan gemilang di pihak
kaum muslimin.
Dalam
peperangan melawan imperium Persia, Abu Musa berjasa besar. bahkan, dalam
pertempuran di Tusfar, yang merupakan benteng perlindungan terakhir bagi
Hurmuzan dan pasukannya, di mana jumlah pasukan Persia yang berhasil dihimpun
saat itu sangat besar, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintangnya.
Saat
itu, Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan bala bantuan cukup besar dipimpin
oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majza’ah al-Bakri, dan
Salamah bin Raja’.
Peperangan
pun terjadi. Pasukan Islam di bawah komando Abu Musa dan pasukan Persia di
bawah komando Hurmuzan. Pertempuran berlangsung sangat dahsyat dan mencekam.
Akhirnya,
pasukan Persia terpukul dan melarikan diri ke kota Tustar yang merupakan
benteng pertahanan mereka.
Pasukan
Islam mengepung kota Tustar berhari-hari hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan
kecerdikan dan taktiknya.
Abu
Musa membayar seorang laki-laki Persia agar berpura-pura dan merayu para
penjaga pintu gerbang agar mau membukakan pintu gerbang. Bersama laki-laki itu,
Abu Musa mengirim 200 pasukan berkuda untuk membersihkan jalan masuk bagi
pasukan lainnya.
Siasat
pun berhasil. Pintu gerbang kota Tustar terbuka dan 200 pasukan berkuda
langsung menyerbu para penjaga pintu, diikuti pasukan Islam yang lain di bawah
pimpinan Abu Musa.
Hanya
dalam beberapa saat, benteng pertahanan itu bisa dikuasai oleh pasukan Islam.
Para pemimpin Persia menyerahkan diri. Lalu mereka dikirim oleh Abu Musa ke
Madinah agar Khalifah sendiri yang memutuskan tindakan apa yang pantas bagi
mereka.
Baru saja sang
ahli perang ini keluar dari medan perang, ia telah berubah menjadi seorang ahli
ibadah yang senantiasa bertobat, menangisi semua dosa-dosanya, dan khusyu’ di
hadapan Allah.
Ia
membaca Al-Qur’an dengan suara yang menggetarkan hati para pendengarnya hingga
Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu
Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.”
Dan,
setiap kali Umar melihatnya, ia memanggilnya dan menyuruhnya membacakan
Al-Qur’an seraya berkata, “Bangkitkanlah kerindukan kami kepada Tuhan kami,
wahai Abu Musa!”
Ia
tidak mau ketinggalan dalam peperangan, saat musuh yang dihadapi adalah
orang-orang kafir yang menentang Islam dan berusaha memadamkan cahaya Allah.
Namun, jika peperangan yang terjadi adalah sesame Muslim, maka ia menjauh dan
tidak ingin melibatkan diri.
Sikapnya
ini terlihat jelas saat terjadi pertikaian antara Ali dengan Mu’awiyah dan
peperangan yang terjadi sesame kelompok muslim saat itu.
Membicarakan
masalah ini akan mengantarkan kita ke satu peristiwa yang membuat Abu Musa
terkenal, yaitu sikapnya dalam Tahkim (perundingan) antara Ali dengan
Mu’awiyah. Satu sikap yang sering dijadikan bukti kebaikan hatinya yang
berlebihan hingga mudah tertipu oleh lawan.
Sikapnya ini, seperti yang akan
kita saksikan, meskipun sedikit tergesa-gesa dan ceroboh, tetapi membuktikan
keagungan tokoh kita ini. Membuktikan kebesaran jiwanya dan sejauh mana
keyakinannya terhadap kebenaran.
Pendapat
Abu Musa mengenai Tahkim ini dapat disimpulkan sebagai berikut. “Memperhatikan
adanya peperangan sesame kaum muslimin, setiap kelompok membela pemimpinnya.
Mempertimbangkan peperangan yang sudah semakin parah hingga nasib kaum muslimin
berada di jurang kehancuran, maka harus diselesaikan dari awal lagi
Sesungguhnya,
perang yang terjadi adalah antara dua kelompok kaum muslimin yang bertikai soal
siapa pemimpin sesungguhnya. Karena itu, biarlah Ali mengundurkan diri, begitu
juga dengan Mu’awiyah. Setelah itu, biarkan kaum muslimin melakukan syuro untuk
memilih pemimpin mereka.”
Begitulah jalan
keluar yang diusulkan oleh Abu Musa.
Benar bahwa Ali
telah diangkat menjadi Khalifah secara sah dan benar pula bahwa pembangkangan
yang tidak beralasan, tidak boleh dibiarkan mencapai tujuannnya menggugurkan
kebenaran. Akan tetapi, pertikaian yang terjadi antara Khalifah Ali dengan Mu’awiyah,
antara penduduk Irak dan penduduk Syam, menurut Abu Musa, sudah melampaui batas
yang memerlukan pemikiran dan solusi yang baru. Pembangkangan Mu’awiyah bukan
lagi sekadar pembangkangan. Pembangkangan penduduk Syam bukan lagi sekadar pembangkangan. Pertikaian
yang terjadi bukan lagi sekadar perbedaan pendapat. Akan tetapi, sudah berubah
menjadi perang saudara yang memakan ribuan korban dari kedua kelompok, dan akan
terus berdampak lebih buruk bagi Islam dan kaum muslimin.
Bagi Abu Musa,
menjauhkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan adalah titik tolak untuk
mencapai penyelesaian.
Pada mulanya,
sesudah menerima rencana Tahkim, Khalifah Ali bermaksud mengangkat Abdullah bin
Abbas atau rekan-rekannya yang lain untuk mewakili pihaknya. Akan tetapi, kelompok
besar yang berpengaruh di pihaknya dan di pasukannya memaksanya untuk memilih
Abu Musa al-Asy’ari. Mereka beralasan karena Abu Musa sejak awal sama sekali
tidak terlibat dalam pertikaian antara Ali dengan Mu’awiyah. Bahkan, ia
menjauhkan diri dari mereka, setelah tidak berhasil membawa mereka ke meja
perundingan dan menghentikan peperangan. Inilah kelebihan Abu Musa al-Asy’ari
yang membuatnya lebih berhak melaksanakan Tahkim.
Ketakwaan,
keikhlasan, dan kejujuran Abu Musa sama sekali tidak diragukan oleh Khalifah
Ali, tetapi ia tahu maksud tertentu pihak lawan dan sejauh mana mereka
mengandalkan tipu muslihat dan permainan kata-kata. Sementara Abu Musa,
meskipun mempunyai pemahaman dan pengalaman luas, ia membenci tipu muslihat dan
permainan kata-kata. Ia lebih suka berinteraksi dengan orang lain dengan
kejujuran, bukan dengan kecerdikannya. Karena itulah, Khalifah Ali khawatir Abu
Musa akan teperdaya, dan Tahkim menjadi ajang permainan kata-kata pihak lawan.
Akhirnya, permasalahan semakin buruk.
Tahkim antara
kedua belah pihak dimulai. Abu Musa mewakili pihak Khalifah Ali, sedangkan Amru
bin Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amru bin Ash akan lebih mengandalkan
kecerdikan dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’awiyah.
Pertemuan dua
orang wakil pun berlangsung. Abu Musa lebih dahulu mengusulkan untuk
mencalonkan Abdullah bin Umar sebagai Khalifah, karena bisa dikatakan seluruh
kaum muslimin sangat mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Amru melihat
usulan ini sebagai peluang baik yang tidak boleh disia-siakan. Usulan ini
berarti Abu Musa sudah tidak lagi terikat dengan pihak yang ia wakili, yaitu
Ali. Juga berarti ia akan bersedia saat jabatan Khalifah di pegang oleh para
sahabat Nabi yang lain. Buktinya, ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar.
Begitulah,
dengan kelicikannya, Amru menemukan
jalan yang luas untuk mencapai tujuannya. Maka, ia mengusulkan Mu’awiyah
sebagai Khalifah. Ia juga mengusulkan putranya yang bernama Abdullah bin Amru
sebagai Khalifah. Abdullah termasuk orang yang dihormati di kalangan para
sahabat Rasulullah saw.
Namun,
kecerdasan Abu Musa bisa membaca kelicikan Amru. Ketika Amru melihat pencalonan
sebagai dasar perundingan, maka Abu Musa berbelok kearah yang lebih aman. Ia
menegaskan kepada Amru bahwa pemilihan Khalifah adalah hak seluruh kaum
muslimin, dan Allah telah menetapkan hendaklah diputuskan melalui syuro. Karena
itu, penentuan Khalifah biarlah diputuskan oleh kaum muslimin.
Kita akan
mengetahui bagaimana Amru menggunakan usulan yang baik ini untuk keuntungan
pihak Mu’awiyah.
Namun
sebelumnya, marilah kita dengarkan dialog yang terjadi antara Abu Musa dengan
Amru bin Ash di awal pertemuan mereka, yang kami kutip dari buku al-Akhbar
ath-Thiwal karya Abu Hanifah ad-Dainawari.
Abu Musa, “Hai
Amru, apakah kamu setuju dengan solusi yang membawa kemaslahatan bagi umat dan
menghadirkan ridha Allah?”
Amru, “Apakah
itu?”
Abu Musa, “Kita
angkat Abdullah bin Umar. Ia sama sekali tidak ikut campur dalam peperangan
ini.”
Amru, “Bagaimana
kalai kita mengangkat Mu’awiyah?”
Abu Musa, “Dia
tidak layak dan tidak berhak.”
Amru, “Bukankah
kamu tahu kalau Utsman dibunuh secara aniaya?”
Abu Musa, “Tentu
aku tahu.”
Amru, “Mu’awiyah
masih keluarganya dan kamu juga tahu bagaimana kedudukan keluarganya di
kalangan orang-orang Quraisy? Jika ada yang mengatakan, “Mengapa ia diangkat
menjadi Khalifah, padahal dia bukan termasuk orang-orang yang pertama-tama
masuk Islam?” maka kamu bisa memberi alasan, “Dia masih keluarga Utsman dan
Allah berfirman, “Barangsiapa yang dibunuh secara aniaya, maka Kami berikan
kekuasaan kepada walinya.” Selain itu, dia adalah saudara Ummu Habibah, istri
Nabi saw. Dia juga salah seorang dari sahabatnya.””
Abu Musa, “Wahai
Amru, takutlah kepada Allah. Mengenai kemuliaan Mu’awiyah, maka seandainya
jabatan Khalifah dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling
berhak menjadi Khalifah ialah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan raja-raja
Yaman at-Tababi’ah yang menguasai bagian Timur dan barat bumi. Kemmudian, apa
artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib? Adapun katamu
bahwa Mu’awyah wali Utsman, maka ada yang lebih berhak darinya, yaitu putra
Utsman sendiri; Amru bin Utsman. Tetapi jika kamu bersedia, kita hidupkan
kembali kenangan terhadap Umar bin Khattab dengan mengangkat putranya, yaitu
Abdullah bin Umar, sang maha guru itu.”
Amru, “Kalau
begitu, mengapa tidak putraku saja, Abdullah? Bukankah ia memiliki keutamaan
dan keshalihan. Ia juga seorang Muhajirin dan terbilang sebagai sahabat Nabi?”
Abu Musa,
“Putramu memang seorang yang jujur. Tetapi, kamu telah menyeretnya ke
peperangan ini. Karena itu, mari kita serahkan kepada orang baik, putra dari
orang baik, Abdullah bin Umar.”
Amru, “Wahai Abu
Musa, urusan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua gigi geraham;
yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan.”
Abu Musa,
“Keterlaluan kami ini, Amru. Kaum muslimin telah menyerahkan penyelesaian
masalah ini kepada kita, setelah mereka terlibat dalam pertempuran. Jangan
sampai kita kembalikan mereka pada kekacauan lagi.”
Amru, “Jadi, apa
pendapatmu?”
Abu Musa, “Kita
tanggalkan jabatan Khalifah dari mereka berdua (Ali dan Mu’awiyah), kemudian
kita serahkan kepada syuro kaum muslimin yang akan memilih siapa yang mereka
inginkan sebagai Khalifah.”
Amru, “Aku
setuju dengan pendapat ini. Sungguh, pendapat ini akan membawa kebaikan bagi
segenap rakyat.”
Dialog ini
benar-benar mengubah gambaran yang biasa kita kenal tentang Abu Musa
al-Asy’ari, setiap kita teringat akan peristiwa Tahkim ini. Ternyata, Abu Musa
jauh sekali dari lengah dan lalai. Bahkan, dalam dialog ini, kepintarannya
lebih menonjol dari kecerdikan Amru bin Ash yang terkenal licik.
Ketika Amru
ingin memaksa Abu Musa untuk menerima Mu’awiyah sebagai Khalifah dengan alasan
kebangsawanannya di tengah-tengah suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali
dari Utsman, amaka Abu Musa menjawabnya dengan jawaban yang cerdas dan
mematikan bagai mata pedang.
Jika jabatan
Khalifah diperoleh berdasarkan kebangsawanannya, maka Abrahah bin Shabbah yang
keturunan raja-raja itu lebih berhak menduduki jabatan Khalifah daripada
Mu’awiyah. Dan jika berdasarkan kedudukan sebagai wali Utsman dan pembela
haknya, maka putra Utsman sendiri lebih berhak daripada Mu’awiyah.
Apa yang terjadi
dalam proses Tahkim setelah dialog ini menjadi tanggung jawab Amru bin Ash.
Abu Musa telah
menyerahkan pemilihan Khalifah kepada umat. Amru juga sudah setuju dengan
pendapat ini.
Sama sekali
tidak terpikirkan oleh Abu Musa bahwa dalam suasana yang sangat genting ini,
suasana yang mengancam keutuhan Islam dan kaum muslimin, Amru masih bersilat
lidah, meskipun ia begitu fanatic kepada Mu’awiyah.
Ketika ia
kembali kepada kaum muslimin, lalu memberitahukan hasil perundingan, ia telah
diperingatkan oleh Ibnu Abbas dari silat lidah Amru, “Demi Allah, aku khawatir
Amru telah menipumu. Jika sudah ada kesepakatan di antara kalian, maka
persilakan dia terlebih dahulu untuk mengumumkan hasil kesepakatan. Setelah
itu, giliran kamu yang mengumumkan hasil perundingan.”
Akan tetapi, Abu
Musa masih meyakini bahwa Amru tidak akan bersilat lidah dalam suasana genting
ini. Karena itu, ia tidak ragu sama sekali akan sikap dan komitmen Amru
terhadap kesepakatan yang telah dicapai.
Keesokan
harinya, mereka berdua berkumpul. Abu Musa mewakili pihak Khalifah Ali dan Amru
bin Ash mewakili pihak Mu’awiyah.
Abu Musa
mempersilakan Amru untuk bicara. Namun, Amru menolak dan berkata, “Tidak
mungkin aku mendahuluimu, sementara kamu lebih mulia, lebih dulu masuk Islam,
dan lebih tua.”
Abu Musa tampil
di depan masyarakat dari kedua belah pihak.
Ia berkata,
“Wahai saudara sekalian, kami telah melihat sesuatu yang dapat menghimpun kembali
kesatuan umat dan membawa kebaikan bagi umat. Kami tidak melihat jalan yang
lebih tepat selain melepas jabatan Khalifah dari dua orang ini (Ali dan
Mu’awiyah) lalu menjadikan keputusan pemilihan Khalifah melalui syuro kaum
muslimin. Ketahuilah bahwa aku telah melepas Ali dan Mu’awiyah dari jabatannya.
Maka, hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk
menjadi Khalifah kalian.”
Lalu, sekarang
giliran Amru untuk mengumumkan penurunan Mu’awiyah dari jabatannya sebagaimana
telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, sebagai realisasi dari kesepakatan di
hari sebelumnya. Amru naik ke podium dan berkata, “Wahai saudara sekalian, Abu
Musa telah mengatakan apa yang telah kalian dengar. Ia juga telah melepaskan
sahabatnya itu dari jabatannya seperti yang Abu Musa lakukan, dan aku
mengukuhkan sahabatku, Mu’awiyah, karena dia adalah wali dari Khalifah Utsman,
penuntut haknya dan orang yang paling berhak menduduki jabatannya.”
Abu Musa tidak
tahan dengan kejadian yang tidak disangka-sangka itu, lalu menegur Amru dengan
kata-kata keras penuh kemarahan.
Setelah
peristiwa itu, ia kembali mengasingkan diri. Ia mengayunkan langkah kakinya ke
Mekkah, di dekat Baitul-Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.
Abu Musa adalah
orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah saw. Juga menjadi kepercayaan dan
kesayangan para Khalifah setelah Nabi dan para sahabat beliau.
Sewaktu
Rasulullah saw. masih hidup, bersama Muadz bin Jabal ia diserahi mengurus tugas
Yaman. Setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung
jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh pasukan Islam melawan
Persia dan Romawi.
Di masa
pemerintahan Khalifah Umar, ia diangkat sebagai gubernur Basrah.
Kemudian,
Khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur Kufah.
Abu Musa
termasuk Ahlul Qur’an, karena selain telah menghafalnya dengan sempurna, ia
juga memahami betul maknanya dan mengamalkan isinya.
Di antara
pesannya tentang Al-Qur’an yang akan selalu dikenang adalah, “Ikutilah
Al-Qur’an, dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur’an.”
Ia juga termasuk
ahli ibadah yang tekun.
Di musim panas
yang sangat menyengat, bahkan untuk bernafas pun sulit karena saking panasnya,
Anda akan menjumpai Abu Musa sedang berpuasa. Ia sangat senang berpuasa di hari
yang sangat panas itu. Ia berkata, “Semoga rasa haus di panas terik ini akan
menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari Kiamat nanti.”
Dan pada satu
hari yang sejuk, ia berjumpa dengan ajalnya. Raut wajahnya begitu ceria bagai
orang yang mengharapkan rahmat dan pahala dari Allah.
Kata-kata yang
selalu diulang-ulang semasa hidupnya, kini (saat ajal mau menjemput) juga
menghiasi bibirnya.
“Ya Allah,
Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah segala keselamatan.”