Imran Bin Hushain

Filled under:

"Menyerupai Malaikat"

Di tahun terjadinya Perang Khaibar, ia datang kepada Rasulullah SAW. untuk menyatakan keislamannya. Sejak ia meletakkan tangan kanan-nya di tangan kanan Rasul, mengucapkan syahadat dan bersumpah setia, maka tangan kanannya itu benar-benar dijaga kesuciannya. Ia bersumpah tidak akan menggunakan tangan kanannya kecuali untuk yang baik. Ini bukti bahwa tokoh kita kali ini memiliki perasaan yang sangat halus.

Imran bin Hushain – semoga Allah meridhainya – merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud, keshalihan, pengorbanan, cinta, dan ketaatan kepada Allah. Meskipun kemudahan dan bimbingan yang diberikan Allah kepadanya sangat besar, ia sering menangis seraya berkata, “Andai saja aku adalah debu yang beterbangan disapu angin…”

Sebab, orang-orang seperti ia takut kepada Allah bukan karena pernah melakukan dosa, karena bisa dikatakan mereka tidak pernah berbuat dosa setelah masuk Islam. Akan tetapi, mereka takut kepada Allah karena mengetahui kebesaran dan keagungan-Nya --- selain menyadari ketidakmampuan mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka selalu bersujud, ruku’, dan beribadah.
Suatu hari, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ada apa dengan kami ini? Jika kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lembut. Kami sama sekali tidak menginginkan dunia. Kami seakan melihat akhirat dengan mata kepala kami sendiri. Namun, ketika kami berpisah denganmu dan berkumpul dengan istri, anak dan urusan dunia kami, kami menjadi lupa diri.”
Rasulullah menjawab, “Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian selalu berada dalam kondisi seperti saat kalian disisiku, pasti malaikat menjabat tangan kalian secara kasat mata. Akan tetapi, begitulah yang terjadi. Terkadang, iman itu naik dan turun.”
Imran bin Hushain mendengarkan ucapan itu. Semangatnya pun berapi-api. Seakan ia bersumpah untuk mencapai tujuan, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Ia tidak ingin keimanannya naik turun. Ia ingin keimanannya selalu naik. Ia ingin seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dan menyendiri dengan Allah, Tuhan alam semesta.
Di masa pemerintahan Khalifah Uar bin Khaththab, Imran dikirim oleh Khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk Bashrah dan membimbing mereka mendalami agama. Penduduk Bashrah langsung berdatangan menyambutnya, berharap berkah dari keshalihan dan ketakwaannya.
Hasan Basri dan Ibnu Sirin berkata, “Tidak seorang pun diantara sahabat-sahabat Rasul saw. yang datang ke Bashrah, lebih dimuliakan daripada Imran bin Hushain.”
Imran tidak ingin ibadah dan kekhusyu’annya kepada Allah terganggu oleh sesuatu pun. Ia tenggelam dalam ibadah hingga seolah tidak menoleh sama sekali pada dunia tempatnya hidup dan bumi tempatnya berpijak.
Ia seakan hidup dalam lingkungan malaikat. Berbincang dengan mereka dan saling berjabat tangan.
Ketika terjadi pertikaian sengit antara sesame kaum muslimin, antara kelompok Ali dengan kelompok Mu’awiyah, Imran tidak hanya bersikap netral, namun lebih dari itu, ia mengajak semua orang untuk tidak ikut dalam pertikaian itu, dan lebih mengutamakan kedamaian. Ia berseru, “Aku lebih suka menggembala kambing di atas pegunungan hingga meninggal dunia daripada harus bergabung dengan salah satu kelompok, lalu membidikkan anak panah, baik mengenai sasaran maupun tidak.”
Kepada setiap orang Islam yang dijumpainya ia berpesan, “Berdiam dirilah di masjid. Jika masjid pun diserang, berdiam dirilah di rumahmu. Jika rumahmu diserang, mengincar nyawamu atau hartamu, maka lawanlah.”


Keimanan Imran bin Hushain benar-benar membawa hasil gemilang. Ia menderita sakit selama 30 tahun dan tidak pernah ada kata mengeluh keluar dari mulutnya. Selama kurun waktu yang panjang itu, ia tetap rajin beribadah, baik dengan berdiri, duduk, maupun berbaring.
Ketika para sahabat dan orang-orang yang menjenguknya memberikan kata-kata penghibur, ia tersenyum dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya apa yang paling kusukai adalah apa yang paling disukai Allah.”
Wasiat yang ia sampaikan kepada keluarganya, sesaat sebelum meninggal dunia adalah, “Jika kalian telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan makan.”
Memang, sepatutnya mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan makan karena kematian seorang mukmin seperti Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian, melainkan pesta besar dan meriah. Pesta untuk menyambut kedatangan ruh suci dan mulia yang sedang memasuki taman surge yang luasnya seluas langit-langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Posted By Didit Puji Hariyanto15.35

Shuhail Bin Amru

Filled under:

“Tawanan yang Dibebaskan, Menjadi Syahid dalam Membela Kebenaran”

Perang Badar berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Tidak sedikit tentara kafir yang menjadi tawanan kaum muslimin, termasuk Shuhail bin Amru.
                Umar bin Khattab mendekati Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan saya cabut dua gigi depan Shuhail bin Amru agar mulai hari ini ia tidak bisa lagi berorasi menghinamu.”
                Rasulullah saw. menjawab, “Jangan, wahai Umar. Aku tidak merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku, meskipun aku seorang Nabi.” Kemudian, Rasulullah menarik Umar ke dekatnya, dan bersabda, “Wahai Umar, mudah-mudahan di kemudian hari sikap Shuhail membuatmu senang.”

Nubuat Rasulullah menjadi kenyataan. Shuhail bin Amru, sang orator suku Quraisy, beralih menjadi orator di antara orator-orator Islam. Ia yang semula seorang musyrik fanatic berat menjadi seorang mukmin taat yang kedua matanya tak pernah kering dan air mata tangis karena takut kepada Allah. Ia yang notabene termasuk pemuka Quraisy dan panglima pasukannya beralih menjadi seorang pejuang tangguh yang membela Islam; menjadi seorang prajurit yang berjanji terhadap dirinya akan tetap di jalan jihad sampai mati; dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah dilakukannya.
                Nah, siapakah dia yang semula musyrik berkepala batu, lalu menjadi seorang muslim bertakwa dan gugur menjadi syahid?
                Dialah Shuhail bin Amru. Satu dari para pemimpin Quraisy yang disegani. Ia pintar dan bijak. Pendapatnya selalu menjadi rujukan.
                Dialah yang diutus oleh kaum Quraisy untuk meyakinkan Nabi agar membatalkan rencananya memasuki Mekkah pada peristiwa Hudaibiyah.
                Di akhir tahun keenam Hijrah, Rasulullah saw. bersama kaum muslimin pergi ke Mekkah untuk berziarah ke Baitullah dan melakukan Umroh, sama sekali bukan untuk berperang. Karena itu, mereka tidak membawa perlengkapan perang.
                Orang-orang Quraisy mengetahui keberangkatan kaum muslimin ini. Maka, mereka berusaha menghalangi tujuan kaum muslimin.
                Suasana menjadi tegang dan hati kaum muslimin berdebar-debar. Rasulullah bersabda kepada kaum muslimin, “Jika hari ini orang-orang Quraisy mengajakku menyambung silaturahmi, pasti kupenuhi.”
                Orang-orang Quraisy mengirim utusan demi utusan kepada Nabi saw. Beliau memberitahu semua utusan itu bahwa kedatangannya bukan untuk berperang, tetapi untuk berziarah ke Baitullah dan mengagungkan kesuciannya.
                Dan setiap utusan itu kembali, orang-orang Quraisy mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih disegani, hingga sampailah giliran Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Dialah yang dipandang paling cerdas dan memiliki argumentasi paling kuat. Ia dipandang mampu meyakinkan Rasulullah untuk pulang ke Madinah dan tidak melanjutkan perjalanan ke Mekkah.
                Tetapi. Tidak berapa lama, Urwah kembali kepada mereka dan berkata, “Wahai segenap orang Quraisy, aku sudah mengunjungi raja-raja Romawi, Persia, dan Yaman. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat seorang raja yang begitu diagungkan oleh kaumnya, seperti para pengikut Muhammad mengagungkan Muhammad. Aku melihat ia dikelilingi oleh kaum yang tidak akan membiarkannya ditimpa keburukan. Nah, pertimbangkan rencana kalian dengan baik.”
                Saat itulah orang-orang Quraisy menyadari kegagalan upaya mereka. Mereka memutuskan untuk menempuh jalan perundingan. Untuk melaksanakan tugas ini, mereka memilih orang yang ahli di bidang ini, yaitu Shuhail bin Amru.
                Melihat kedatangan Shuhail, kaum muslimin paham bahwa orang-orang Quraisy memilih jalan perundingan. Ini terbaca karena yang diutus adalah Shuhail.
                Shuhail duduk berhadapan dengan Rasulullah. Keduanya terlibat dalam percakapan panjang. Akhirnya disepakatilah jalan damai dan dibuat perjanjian.
                Shuhail ingin agar isi perjanjian ini benar-benar menguntungkan pihak Quraisy, apalagi sikap toleransi Rasulullah sangat mendukung hal ini.

                Waktu pun terus berjalan, hingga tibalah tahun ke-8 Hijriah, di mana Rasulullah dan kaum muslimin terlihat berangkat untuk membebaskan kota Mekkah setelah orang-orang Quraisy merusak isi perjanjian yang telah disepakati.
                Orang-orang Muhajirin pulang ke tanah kelahiran mereka, setelah mereka dulu diusir dari tempat itu. Mereka pulang kampung ditemani oleh orang-orang Anshar yang telah menampung mereka di Madinah, bahkan lebih mengutamakan mereka daripada diri mereka (Anshar) sendiri.
          Islam pun kembali seutuhnya, mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas. Kota Mekkah telah membuka semua pintunya. Sementara orang-orang musyrik dalam kebingungan.
               Nah, coba bayangkan nasib mereka sekarang. Merekalah yang selama ini menimpakan keburukan kepada kaum muslimin : membunuh, membakar, menyiksa, dan menutup perekonomian kaum muslimin. Semua kejahatan itu telah mereka lakukan terhadap kaum muslimin.
                Rasulullah yang penyayang tidak ingin membiarkan mereka tersiksa oleh perasaan mereka sendiri. Dengan dada lapang dan sikap lembut, beliau pandangi wajah mereka. Dengan suara yang penuh kasih sayang, beliau bersabda, “Wahai segenap kaum Qurasiy, menrut kalian, apa yang akan kulakukan terhadap kalian?”
                Saat itulah, Shuhail bin Amru menjawab, “Kami yakin kau akan melakukan yang terbaik. Engkau adalah saudara kami yang mmulia, dan putra saudara kami yang mulia.”
                Sebuah senyuman berkilau tersungging di kedua bibir Rasulullah, sang kekasih Allah. Beliau bersabda, “Pergilah! Kalian seua bebas.”
                Bagi mereka yang mempunyai perasaan, ucapan Rasulullah yang saat itu berada di atas angin ini pasti menimbulkan rasa malu dan menyesal.
                Malu dan menyesallah yang saat itu dirasakan oleh Shuhail bin Amru. Suasana yang begitu mengharukan telah menggoyahkan hatinya. Ia menyatakan keislamannya. Ia tunduk kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta.
                Keislamannya itu bukanlah keislaman seorang laki-laki yang kalah dan putus asa. Akan tetapi, seperti yang akan dibuktikan di kemudian hari, keislamannya adalah keislaman seorang laki-laki yang terpesona oleh keagungan Muhammad dan keagungan Islam yang dibawa dan diperjuangkan Muhammad mati-matian.
               
                Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan kota Mekkah itu disebut thulaqa’. Yaitu, orang-orang  yang masuk Islam karena mendapat ampunan Rasulullah saat beliau bersabda, “Pergilah! Kalian semua bebas (thulaqa’).”
                Lalu, dari mereka ini, ada yang melaju cepat dengan keikhlasan mereka. Mereka terbang tinggi dengan pengorbanan, ibadah dan kesucian mereka. Sehingga, mereka menempati barisan terdepan dalam jajaran para sahabat, termasuk Shuhail bin Amru.
                Ia telah “didaur ulang” oleh Islam. Semua kemampuannya kemarin dipertajam dan ditambah dengan kemampuan lain. Semua kemampuan itu dipergunakan untuk membela kebenaran, kebaikan, dan keimanan.
                Orang-orang menyebutnya, “Pemaaf, pemurah, banyak sholat, puasa, bersedekah, membaca Al-Qur’an, dan menangis karena takut kepada Allah.”
                Di sinilah letak kebesaran Shuhail. Meskipun ia masuk Islam baru di hari pembebasan kota Mekkah, keislaman dan keimanannya tidak main-main, bahkan menguasai keseluruhan dirinya dan mengantarnya menjadi seorang ahli ibadah, zuhud, dan mujahid yang siap berkorban apa saja untuk membela Islam.
                Ketika Rasulullah wafat, Shuhail tinggal di kota Mekkah. Saat berita itu sampai di Mekkah, kaum muslimin Mekkah gelisah seperti yang dialami oleh kaum muslimin Madinah.
                Jika kegelisahan kaum muslimin Madinah diobati oleh Abu Bakar dengan kata-katanya, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak akan mati.”
                Kita akan keheranan ketika mengetahui bahwa Shuhail –lah yang tampil di Mekkah, melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar di Madinah.
                Ia mengumpulkan segenap kaum muslimin Mekkah, lalu berdiri memukau mereka dengan orasinya yang mantap. Ia jelaskan bahwa Muhammad itu benar-benar utusan Allah dan bahwa ia tidak wafat kecuali setelah menyampaikan tugasnya dengan sempurna. Kini tinggal kaum musliminlah yang harus melanjutkan jalan hidup yang telah digariskannya.
                Tindakan dan orasi Shuhail yang didasari iman yang kuat ini berhasil meredam kekacauan yang hampir mencabut keimanan mereka saat mendengar wafatnya Rasulullah.
                Hari ini, nubuat Rasulullah terbukti. Bukankah beliau pernah berkata kepada Umar, ketika Umar meminta izin untuk merontokkan gigi Shuhail saat Shuhail menjadi tawanan Perang Badar, “Jangan! Mudah-mudahan di kemudian hari tindakannya membuatmu senang”?
                Nah, pada hari ini, nubuat itu terbukti.
                Ketika kaum muslimin di Madinah mendengar tindakan dan orasi Shuhail yang mengagumkan di Mekkah, yang mengembalikan keimanan kaum muslimin Mekkah, Umar bin Khattab teringat akan nubuat Rasulullah. Ia tertawa panjang. Hari ini, dua gigi depan Shuhail yang dulu ingin dicabutnya, membawa manfaat besar bagi Islam dan kaum muslimin.
                Setelah masuk Islam di hari pembebasan kota Mekkah dan setelah merasakan manisnya iman, ia berjanji terhadap dirinya, “Demi Allah, setiap tindakan yang pernah kulakukan bersama orang-orang musyrik, pasti akan kulakukan juga bersama kaum muslimin. Setiap dana yang kukeluarkan bersama kaum musyrikin, pasti kukeluarkan juga bersama kaum muslimin. Semoga semua itu menjadi penyeimbang perbuatanku terdahulu.”
                Dahulu, ia berlama-lama khusyu’ di depan berhala-berhalanya. Sekarang, bersama kaum muslimin, ia berlama-lama khusyu’ di hadapan Allah Yang Maha Esa. Waktunya banyak ia habiskan untuk sholat dan puasa. Setiap ibadah yang membersihkan jiwanya dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya yang Mahatinggi, pasti ia lakukan sebanyak banyaknya.
                Kemarin, bersama kaum musyrikin, ia memusuhi dan memerangi Islam. Sekarang, bersama pasukan Islam, ia menjadi pejuang gagah berani. Bersama pasukan kebenaran, ia padamkan api pemujaan Persia yang dipertahankan. Api pemujaan yang selama ini memupus masa depan penduduk Persia. Bersama pasukan kebenaran, ia memorak-porandakan kezaliman orang-orang Romawi. Ia sebarkan kalimat tauhid dan takwa di setiap tempat.
                Begitulah… Bersama pasukan Islam, ia berangkat ke Syam, untuk terjun dalam peperangan yang terjadi di sana. Termasuk Perang Yarmuk yang terkenal sangat sengit, dahsyat dan mencekam. Saat itu, Shuhail bagai terbang kegirangan. Ia merasa mendapatkan kesempatan untuk mendermakan dirinya, syahid di perang yang sangat sengit ini, agar dapat menebus dosa-dosa dan kesyirikan masa lalunya.

                Shuhail sangat mencintai kampung halamannya: Mekkah. Bahkan, melebihi dirinya sendiri. Meskipun kaum muslimin telah berhasil membebaskan Syam, ia tidak juga mau pulang ke Mekkah. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Keberadaan seseorang di antara kalian di medan perang membela agam Allah, meskipun hanya sebentar, lebih baik dari amal kebaikan sepanjang usianya.” Sungguh, aku ingin berperang di jalan Allah hingga syahid. Aku tidak akan pulang ke Mekkah.”
                Shuhail menepati janjinya. Sisa hidupnya ia habiskan di medan perang hingga ajal menjemputnya. Ruhnya terbang dengan cepat menuju kasih sayang dan keridhaan Allah.

Posted By Didit Puji Hariyanto23.55

Abu Musa Al-Asy’ari

Filled under:

“Yang Penting Ikhlas! Apa pun yang Terjadi Setelah itu, Terjadilah”

Setelah Khalifah Umar bin Khattab mengirimnya ke Basrah untuk menjadi panglima dan gubernur Basrah, ia mengumpulkan warganya dan berpidato di depan mereka, “Sesungguhnya Khalifah Umar mengutusku kepada kalian untuk mengajarkan Kitabullah, Sunah Rasulullah dan membersihkan jalan kalian.”

Seluruh warga keheranan. Mengajarkan ajaran Islam kepada seluruh warga memang tanggung jawab seorang gubernur, tetapi sejak kapan membersihkan jalan juga menjadi tanggung jawab seorang gubernur? Bagi mereka, ini hal baru yang mengundang keheranan, takjub, dan tanda Tanya.
Siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya, Hasan Basri pernah berkata, “Tidak seorang pengendara pun yang datang ke Basrah, yang lebih baik bagi penduduknya selain dia.”
Dialah Abdullah bin Qais, yang biasa dipanggil Abu Musa al-Asy’ari. Ia tinggalkan Yaman, kampung halamannya, dan pergi ke Mekkah, setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, mengajak menyembah Allah dengan argumentasi yang tepat, dan menyuruh berakhlak mulia.
Selama di Mekkah, ia habiskan waktunya untuk menerima petunjuk dan keimanan dari Rasulullah saw. Kemudian ia pulang kampung dengan membawa ajaran Allah. Ia ke Madinah lagi seusai peristiwa Perang Khaibar, bersamaan dengan datangnya Ja’far bin Abu Thalib dan rekan-rekannya dari Habasyah. Karena itu, Rasulullah memberi mereka bagian dari harta pampasan perang.
Kali ini, Abu Musa tidak datang seorang diri. Ia bersama 50 lebih laki-laki dan Yaman yang telah masuk Islam. Juga bersama dua saudaranya yang bernama: Abu Ruhm dan Abu Burdah.
Rasulullah menyebut golongan inidan seluruh kaum mereka sebagai golongan Asy’ary. Beliau juga menyebut mereka sebagai orang-orang yang memiliki hati yang lembut.
Rasulullah menjadikan mereka sebagai contoh perumpamaan. Beliau bersabda, “Orang-orang Asy’ari ini, jika mengalami paceklik atau kekurangan makanan dalam satu peperangan, mereka mengumpulkan makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata. Mereka bagian dariku dan aku bagian dari mereka.”


Mulai saat itu, Abu Musa berada dalam barisan terdepan kaum muslimin. Ia masuk dalam jajaran para sahabat dan murid Rasulullah, serta menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia di setiap masa.


Abu Musa adalah manusia menakjubkan karena berbagai sifat utamanya. Ia seorang prajurit gagah berani dan pejuang tanggun bila berada di medan perang. Ia orang yang sangat ramah, sangat baik dan lebih mengutamakan perdamaian. Ia seorang ahli fiqh, berpikir sehat, cerdas, mudah mencari solusi, fatwa, dan keputusannya menjadi rujukan. Hingga ada yang menyebutkan, “Hakim umat ini ada empat orang: Umar, Ali, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.”
Di samping itu semua, ia masih sangat polos. Orang yang ingin menipunya dengan mengatasnamakan Allah, maka ia akan berhasil menipunya.
Ia sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya. Ia sangat percaya kepada orang lain.
Seandainya kita memilih satu semboyan dari kehidupannya, maka semboyan itu akan berbunyi, “Yang Penting ikhlas! Apa pun yang akan terjadi setelah itu, terjadilah.”
Di medan perang, Abu Musa mengemban tugas dengan penuh keberanian hingga menyebabkan Rasulullah saw. berkata tentang dirinya, “Pahlawan pasukan berkuda ialah Abu Musa.”
Abu Musa sendiri pernah menggambarkan kehidupannya sebagai pejuang, “Kami pernah bersama Rasulullah dalam satu peperangan. Saat itu, telapak kaki kami pecah-pecah. Bahkan, kuku kakiku banyak yang terlepas hingga kami membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain.”
                Di medan perang, kebaikan dan kejujurannya tidak akan menyeretnya terjebak dalam kelicikan musuh karena dalam suasana seperti ini, ia akan melihat semua permasalahan dengan sejelas-jelasnya dan menyelesaikannya dengan tekad bulat.
                Pernah terjadi, dalam proses pembebasan wilayah Persia, Abu Musa dengan pasukannya tiba di daerah Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian, mereka akan membayar upeti. Akan tetapi, mereka tidak sungguh-sungguh ingin berdamai. Mereka hanya ingin mengulur waktu untuk mempersiapkan diri lalu menyerang kaum muslimin saat mereka lengah.
                Namun, kecerdasan Abu Musa yang selalu hadir saat dibutuhkan, mencium niat jahat itu. Tatkala mereka bermaksud melakukan serangan secara licik, Abu Musa tidak terkejut, bahkan sudah diap menghadapi mereka. Peperangan pun terjadi. Belum sampai tengah hari, perang sudah berakhir dengan kemenangan gemilang di pihak kaum muslimin.


                Dalam peperangan melawan imperium Persia, Abu Musa berjasa besar. bahkan, dalam pertempuran di Tusfar, yang merupakan benteng perlindungan terakhir bagi Hurmuzan dan pasukannya, di mana jumlah pasukan Persia yang berhasil dihimpun saat itu sangat besar, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintangnya.
                Saat itu, Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan bala bantuan cukup besar dipimpin oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majza’ah al-Bakri, dan Salamah bin Raja’.
                Peperangan pun terjadi. Pasukan Islam di bawah komando Abu Musa dan pasukan Persia di bawah komando Hurmuzan. Pertempuran berlangsung sangat dahsyat dan mencekam.
Akhirnya, pasukan Persia terpukul dan melarikan diri ke kota Tustar yang merupakan benteng pertahanan mereka.
                Pasukan Islam mengepung kota Tustar berhari-hari hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan kecerdikan dan taktiknya.
                Abu Musa membayar seorang laki-laki Persia agar berpura-pura dan merayu para penjaga pintu gerbang agar mau membukakan pintu gerbang. Bersama laki-laki itu, Abu Musa mengirim 200 pasukan berkuda untuk membersihkan jalan masuk bagi pasukan lainnya.
                Siasat pun berhasil. Pintu gerbang kota Tustar terbuka dan 200 pasukan berkuda langsung menyerbu para penjaga pintu, diikuti pasukan Islam yang lain di bawah pimpinan Abu Musa.
                Hanya dalam beberapa saat, benteng pertahanan itu bisa dikuasai oleh pasukan Islam. Para pemimpin Persia menyerahkan diri. Lalu mereka dikirim oleh Abu Musa ke Madinah agar Khalifah sendiri yang memutuskan tindakan apa yang pantas bagi mereka.


Baru saja sang ahli perang ini keluar dari medan perang, ia telah berubah menjadi seorang ahli ibadah yang senantiasa bertobat, menangisi semua dosa-dosanya, dan khusyu’ di hadapan Allah.
                Ia membaca Al-Qur’an dengan suara yang menggetarkan hati para pendengarnya hingga Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.
                Dan, setiap kali Umar melihatnya, ia memanggilnya dan menyuruhnya membacakan Al-Qur’an seraya berkata, “Bangkitkanlah kerindukan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa!”


                Ia tidak mau ketinggalan dalam peperangan, saat musuh yang dihadapi adalah orang-orang kafir yang menentang Islam dan berusaha memadamkan cahaya Allah. Namun, jika peperangan yang terjadi adalah sesame Muslim, maka ia menjauh dan tidak ingin melibatkan diri.
                Sikapnya ini terlihat jelas saat terjadi pertikaian antara Ali dengan Mu’awiyah dan peperangan yang terjadi sesame kelompok muslim saat itu.
                Membicarakan masalah ini akan mengantarkan kita ke satu peristiwa yang membuat Abu Musa terkenal, yaitu sikapnya dalam Tahkim (perundingan) antara Ali dengan Mu’awiyah. Satu sikap yang sering dijadikan bukti kebaikan hatinya yang berlebihan hingga mudah tertipu oleh lawan.
Sikapnya ini, seperti yang akan kita saksikan, meskipun sedikit tergesa-gesa dan ceroboh, tetapi membuktikan keagungan tokoh kita ini. Membuktikan kebesaran jiwanya dan sejauh mana keyakinannya terhadap kebenaran.
                Pendapat Abu Musa mengenai Tahkim ini dapat disimpulkan sebagai berikut. “Memperhatikan adanya peperangan sesame kaum muslimin, setiap kelompok membela pemimpinnya. Mempertimbangkan peperangan yang sudah semakin parah hingga nasib kaum muslimin berada di jurang kehancuran, maka harus diselesaikan dari awal lagi
Sesungguhnya, perang yang terjadi adalah antara dua kelompok kaum muslimin yang bertikai soal siapa pemimpin sesungguhnya. Karena itu, biarlah Ali mengundurkan diri, begitu juga dengan Mu’awiyah. Setelah itu, biarkan kaum muslimin melakukan syuro untuk memilih pemimpin mereka.”
Begitulah jalan keluar yang diusulkan oleh Abu Musa.
Benar bahwa Ali telah diangkat menjadi Khalifah secara sah dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak boleh dibiarkan mencapai tujuannnya menggugurkan kebenaran. Akan tetapi, pertikaian yang terjadi antara Khalifah Ali dengan Mu’awiyah, antara penduduk Irak dan penduduk Syam, menurut Abu Musa, sudah melampaui batas yang memerlukan pemikiran dan solusi yang baru. Pembangkangan Mu’awiyah bukan lagi sekadar pembangkangan. Pembangkangan penduduk Syam  bukan lagi sekadar pembangkangan. Pertikaian yang terjadi bukan lagi sekadar perbedaan pendapat. Akan tetapi, sudah berubah menjadi perang saudara yang memakan ribuan korban dari kedua kelompok, dan akan terus berdampak lebih buruk bagi Islam dan kaum muslimin.
Bagi Abu Musa, menjauhkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan adalah titik tolak untuk mencapai penyelesaian.
Pada mulanya, sesudah menerima rencana Tahkim, Khalifah Ali bermaksud mengangkat Abdullah bin Abbas atau rekan-rekannya yang lain untuk mewakili pihaknya. Akan tetapi, kelompok besar yang berpengaruh di pihaknya dan di pasukannya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy’ari. Mereka beralasan karena Abu Musa sejak awal sama sekali tidak terlibat dalam pertikaian antara Ali dengan Mu’awiyah. Bahkan, ia menjauhkan diri dari mereka, setelah tidak berhasil membawa mereka ke meja perundingan dan menghentikan peperangan. Inilah kelebihan Abu Musa al-Asy’ari yang membuatnya lebih berhak melaksanakan Tahkim.
Ketakwaan, keikhlasan, dan kejujuran Abu Musa sama sekali tidak diragukan oleh Khalifah Ali, tetapi ia tahu maksud tertentu pihak lawan dan sejauh mana mereka mengandalkan tipu muslihat dan permainan kata-kata. Sementara Abu Musa, meskipun mempunyai pemahaman dan pengalaman luas, ia membenci tipu muslihat dan permainan kata-kata. Ia lebih suka berinteraksi dengan orang lain dengan kejujuran, bukan dengan kecerdikannya. Karena itulah, Khalifah Ali khawatir Abu Musa akan teperdaya, dan Tahkim menjadi ajang permainan kata-kata pihak lawan. Akhirnya, permasalahan semakin buruk.
Tahkim antara kedua belah pihak dimulai. Abu Musa mewakili pihak Khalifah Ali, sedangkan Amru bin Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amru bin Ash akan lebih mengandalkan kecerdikan dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’awiyah.
Pertemuan dua orang wakil pun berlangsung. Abu Musa lebih dahulu mengusulkan untuk mencalonkan Abdullah bin Umar sebagai Khalifah, karena bisa dikatakan seluruh kaum muslimin sangat mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Amru melihat usulan ini sebagai peluang baik yang tidak boleh disia-siakan. Usulan ini berarti Abu Musa sudah tidak lagi terikat dengan pihak yang ia wakili, yaitu Ali. Juga berarti ia akan bersedia saat jabatan Khalifah di pegang oleh para sahabat Nabi yang lain. Buktinya, ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar.
Begitulah, dengan kelicikannya, Amru  menemukan jalan yang luas untuk mencapai tujuannya. Maka, ia mengusulkan Mu’awiyah sebagai Khalifah. Ia juga mengusulkan putranya yang bernama Abdullah bin Amru sebagai Khalifah. Abdullah termasuk orang yang dihormati di kalangan para sahabat Rasulullah saw.
Namun, kecerdasan Abu Musa bisa membaca kelicikan Amru. Ketika Amru melihat pencalonan sebagai dasar perundingan, maka Abu Musa berbelok kearah yang lebih aman. Ia menegaskan kepada Amru bahwa pemilihan Khalifah adalah hak seluruh kaum muslimin, dan Allah telah menetapkan hendaklah diputuskan melalui syuro. Karena itu, penentuan Khalifah biarlah diputuskan oleh kaum muslimin.
Kita akan mengetahui bagaimana Amru menggunakan usulan yang baik ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah.
Namun sebelumnya, marilah kita dengarkan dialog yang terjadi antara Abu Musa dengan Amru bin Ash di awal pertemuan mereka, yang kami kutip dari buku al-Akhbar ath-Thiwal karya Abu Hanifah ad-Dainawari.
Abu Musa, “Hai Amru, apakah kamu setuju dengan solusi yang membawa kemaslahatan bagi umat dan menghadirkan ridha Allah?”
Amru, “Apakah itu?”
Abu Musa, “Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia sama sekali tidak ikut campur dalam peperangan ini.”
Amru, “Bagaimana kalai kita mengangkat Mu’awiyah?”
Abu Musa, “Dia tidak layak dan tidak berhak.”
Amru, “Bukankah kamu tahu kalau Utsman dibunuh secara aniaya?”
Abu Musa, “Tentu aku tahu.”
Amru, “Mu’awiyah masih keluarganya dan kamu juga tahu bagaimana kedudukan keluarganya di kalangan orang-orang Quraisy? Jika ada yang mengatakan, “Mengapa ia diangkat menjadi Khalifah, padahal dia bukan termasuk orang-orang yang pertama-tama masuk Islam?” maka kamu bisa memberi alasan, “Dia masih keluarga Utsman dan Allah berfirman, “Barangsiapa yang dibunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya.” Selain itu, dia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi saw. Dia juga salah seorang dari sahabatnya.””
Abu Musa, “Wahai Amru, takutlah kepada Allah. Mengenai kemuliaan Mu’awiyah, maka seandainya jabatan Khalifah dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhak menjadi Khalifah ialah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan raja-raja Yaman at-Tababi’ah yang menguasai bagian Timur dan barat bumi. Kemmudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib? Adapun katamu bahwa Mu’awyah wali Utsman, maka ada yang lebih berhak darinya, yaitu putra Utsman sendiri; Amru bin Utsman. Tetapi jika kamu bersedia, kita hidupkan kembali kenangan terhadap Umar bin Khattab dengan mengangkat putranya, yaitu Abdullah bin Umar, sang maha guru itu.”
Amru, “Kalau begitu, mengapa tidak putraku saja, Abdullah? Bukankah ia memiliki keutamaan dan keshalihan. Ia juga seorang Muhajirin dan terbilang sebagai sahabat Nabi?”
Abu Musa, “Putramu memang seorang yang jujur. Tetapi, kamu telah menyeretnya ke peperangan ini. Karena itu, mari kita serahkan kepada orang baik, putra dari orang baik, Abdullah bin Umar.”
Amru, “Wahai Abu Musa, urusan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua gigi geraham; yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan.”
Abu Musa, “Keterlaluan kami ini, Amru. Kaum muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka terlibat dalam pertempuran. Jangan sampai kita kembalikan mereka pada kekacauan lagi.”
Amru, “Jadi, apa pendapatmu?”
Abu Musa, “Kita tanggalkan jabatan Khalifah dari mereka berdua (Ali dan Mu’awiyah), kemudian kita serahkan kepada syuro kaum muslimin yang akan memilih siapa yang mereka inginkan sebagai Khalifah.”
Amru, “Aku setuju dengan pendapat ini. Sungguh, pendapat ini akan membawa kebaikan bagi segenap rakyat.”
Dialog ini benar-benar mengubah gambaran yang biasa kita kenal tentang Abu Musa al-Asy’ari, setiap kita teringat akan peristiwa Tahkim ini. Ternyata, Abu Musa jauh sekali dari lengah dan lalai. Bahkan, dalam dialog ini, kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan Amru bin Ash yang terkenal licik.
Ketika Amru ingin memaksa Abu Musa untuk menerima Mu’awiyah sebagai Khalifah dengan alasan kebangsawanannya di tengah-tengah suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali dari Utsman, amaka Abu Musa menjawabnya dengan jawaban yang cerdas dan mematikan bagai mata pedang.
Jika jabatan Khalifah diperoleh berdasarkan kebangsawanannya, maka Abrahah bin Shabbah yang keturunan raja-raja itu lebih berhak menduduki jabatan Khalifah daripada Mu’awiyah. Dan jika berdasarkan kedudukan sebagai wali Utsman dan pembela haknya, maka putra Utsman sendiri lebih berhak daripada Mu’awiyah.
Apa yang terjadi dalam proses Tahkim setelah dialog ini menjadi tanggung jawab Amru bin Ash.
Abu Musa telah menyerahkan pemilihan Khalifah kepada umat. Amru juga sudah setuju dengan pendapat ini.
Sama sekali tidak terpikirkan oleh Abu Musa bahwa dalam suasana yang sangat genting ini, suasana yang mengancam keutuhan Islam dan kaum muslimin, Amru masih bersilat lidah, meskipun ia begitu fanatic kepada Mu’awiyah.
Ketika ia kembali kepada kaum muslimin, lalu memberitahukan hasil perundingan, ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas dari silat lidah Amru, “Demi Allah, aku khawatir Amru telah menipumu. Jika sudah ada kesepakatan di antara kalian, maka persilakan dia terlebih dahulu untuk mengumumkan hasil kesepakatan. Setelah itu, giliran kamu yang mengumumkan hasil perundingan.”
Akan tetapi, Abu Musa masih meyakini bahwa Amru tidak akan bersilat lidah dalam suasana genting ini. Karena itu, ia tidak ragu sama sekali akan sikap dan komitmen Amru terhadap kesepakatan yang telah dicapai.
Keesokan harinya, mereka berdua berkumpul. Abu Musa mewakili pihak Khalifah Ali dan Amru bin Ash mewakili pihak Mu’awiyah.
Abu Musa mempersilakan Amru untuk bicara. Namun, Amru menolak dan berkata, “Tidak mungkin aku mendahuluimu, sementara kamu lebih mulia, lebih dulu masuk Islam, dan lebih tua.”
Abu Musa tampil di depan masyarakat dari kedua belah pihak.
Ia berkata, “Wahai saudara sekalian, kami telah melihat sesuatu yang dapat menghimpun kembali kesatuan umat dan membawa kebaikan bagi umat. Kami tidak melihat jalan yang lebih tepat selain melepas jabatan Khalifah dari dua orang ini (Ali dan Mu’awiyah) lalu menjadikan keputusan pemilihan Khalifah melalui syuro kaum muslimin. Ketahuilah bahwa aku telah melepas Ali dan Mu’awiyah dari jabatannya. Maka, hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi Khalifah kalian.”
Lalu, sekarang giliran Amru untuk mengumumkan penurunan Mu’awiyah dari jabatannya sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, sebagai realisasi dari kesepakatan di hari sebelumnya. Amru naik ke podium dan berkata, “Wahai saudara sekalian, Abu Musa telah mengatakan apa yang telah kalian dengar. Ia juga telah melepaskan sahabatnya itu dari jabatannya seperti yang Abu Musa lakukan, dan aku mengukuhkan sahabatku, Mu’awiyah, karena dia adalah wali dari Khalifah Utsman, penuntut haknya dan orang yang paling berhak menduduki jabatannya.”
Abu Musa tidak tahan dengan kejadian yang tidak disangka-sangka itu, lalu menegur Amru dengan kata-kata keras penuh kemarahan.
Setelah peristiwa itu, ia kembali mengasingkan diri. Ia mengayunkan langkah kakinya ke Mekkah, di dekat Baitul-Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.


Abu Musa adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah saw. Juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para Khalifah setelah Nabi dan para sahabat beliau.
Sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, bersama Muadz bin Jabal ia diserahi mengurus tugas Yaman. Setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh pasukan Islam melawan Persia dan Romawi.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar, ia diangkat sebagai gubernur Basrah.
Kemudian, Khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur Kufah.

Abu Musa termasuk Ahlul Qur’an, karena selain telah menghafalnya dengan sempurna, ia juga memahami betul maknanya dan mengamalkan isinya.
Di antara pesannya tentang Al-Qur’an yang akan selalu dikenang adalah, “Ikutilah Al-Qur’an, dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur’an.”
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tekun.
Di musim panas yang sangat menyengat, bahkan untuk bernafas pun sulit karena saking panasnya, Anda akan menjumpai Abu Musa sedang berpuasa. Ia sangat senang berpuasa di hari yang sangat panas itu. Ia berkata, “Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari Kiamat nanti.”


Dan pada satu hari yang sejuk, ia berjumpa dengan ajalnya. Raut wajahnya begitu ceria bagai orang yang mengharapkan rahmat dan pahala dari Allah.
Kata-kata yang selalu diulang-ulang semasa hidupnya, kini (saat ajal mau menjemput) juga menghiasi bibirnya.
“Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah segala keselamatan.”

Posted By Didit Puji Hariyanto06.49